Broken Vows, Broken Wings and A Broken Man
Sakit. Pedih. Aneh, meskipun kita sudah memperkirakan sesuatu akan terjadi (n kita mempersiapkan diri untuk menghadapinya), tapi pada saatnya (itu) benar-benar terjadi, kenapa sakit? Kenapa tetep pedih? A commitment and thousand vows had been broken, left alone the eagle with broken wings. Tell me, what can eagle do, with broken wings? Not even half an eagle. Not even a bird. Ah, manusia. Segitu mudahnya lupa akan tekad, khilaf atas janji. Manusia yang pada dasarnya memang egosentris, dalam kondisi terdesak selalu berkilah bahwa sesuatu terpaksa dilakukan demi kebaikan pihak lainnya."Gak mungkin kita terusin...."
"Kenapa gak mungkin? Gak ada yang gak mungkin di dunia ini.."
"Percayalah, ini demi kebaikan akang..."
"...maksudnya?"
"Justru karena Neng sayang, karena Neng cinta, makanya lebih baik kita akhirin..."
"...................."
Begitulah. Ketika jarak jadi kendala, argumen pun disusun. Dikemas dalam bungkus kata-kata "sayang" dan "cinta" yang semestinya berguna sebagai penawar rasa sakit, penghilang rasa pedih. Maaf honey... ketika dua kata ajaib itu cuma kata-kata belaka, rasa sakit bertambah sakit, rasa pedih makin menggigit. Ah, udahlah. Komitmen sepasang manusia memang gak akan pernah bisa jadi garansi. Itu cuma permainan kata-kata belaka.
A broken man. That's what I have become. Thanks to you, my sweet darling. You made those years completely a waste.